Trinityordnance.com – Penegakan hukum menjadi sorotan penting di Indonesia setelah Kejaksaan Agung memamerkan uang sitaan hasil tindak pidana korupsi selama tahun 2025 kepada Presiden Prabowo Subianto. Dalam acara tersebut, ditampilkan tumpukan uang bernilai Rp6,625 triliun, di mana sebelumnya telah ada Rp13,255 triliun dari perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Total uang negara yang diperlihatkan ke publik hampir mencapai Rp20 triliun, yang bukan hanya sekadar angka, tetapi merupakan simbol perjuangan negara dalam merebut kembali aset yang dirampas melalui tindakan ilegal.
Visualisasi uang sitaan ini menciptakan transparansi dan memberikan gambaran nyata kepada masyarakat yang sebelumnya hanya akrab dengan kerugian negara dalam bentuk angka abstrak. Tindakan ini menunjukkan kolaborasi nyata antara aparat penegak hukum dan pihak terkait dalam menyelamatkan uang negara. Namun, konsep ini juga mengingatkan pada teori spektakel, di mana pemerintah tidak hanya beroperasi melalui hukum, tetapi juga melalui citra visual untuk membangun rasa keadilan di benak publik.
Di sisi lain, meskipun memberikan dampak visual yang kuat, ada kekhawatiran bahwa spektakel semacam ini berisiko tinggi. Tanpa adanya perbaikan sistemik yang menyusul, hanya menyajikan simbol kinerja dapat menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat. Menurut perspektif sosiologi politik, penciptaan legitimasi kekuasaan juga bergantung pada penerimaan sosial, bukan hanya legalitas formal.
Pameran uang sitaan ini berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan negara, menegaskan efektivitas dan kedaulatan dalam menangani penyimpangan yang merugikan kepentingan publik. Penegakan hukum tidak hanya menjadi pernyataan tentang komitmen, tetapi juga sebuah langkah strategis untuk membangun kepercayaan masyarakat.