Trinityordnance.com – Raja Hayam Wuruk dikenal sebagai sosok yang berupaya menyatukan tiga aliran agama yang berbeda di Kerajaan Majapahit. Upaya tersebut dicatat dalam karya sastra Kakawin Nagarakretagama, khususnya pada Pupuh 81. Dalam teks tersebut, Hayam Wuruk berusaha menciptakan harmoni antara keyakinan Siwa, Buddha, dan Brahma agar ketiga aliran dapat hidup secara berdampingan.
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyatuan ini adalah tripaksa, yang mencakup tiga sayap keagamaan. Para pemimpin dari ketiga aliran ini dikenal sebagai caturdwija, yang merujuk pada sekelompok pendeta terpilih. Menurut sejarawan Prof. Slamet Muljana, istilah dwija dalam konteks ini berarti “lahir dua kali,” menyiratkan adanya proses inisiasi yang diterima oleh golongan tertentu.
Dalam tradisi Hindu, kelahiran kedua diwakili melalui upacara pengalungan benang suci, atau upavita, yang menyatakan bahwa individu tersebut diterima sebagai bagian dari masyarakat Arya. Sebagaimana dijelaskan dalam karya Prof. Slamet Muljana, upacara semacam ini biasanya dilaksanakan pada usia 12 tahun bagi golongan brahmana.
Tepatnya, di Majapahit abad ke-14, terdapat empat golongan yang diakui sebagai pendeta, yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit pada waktu itu memiliki keragaman dalam aliran keagamaan, yang turut mendukung stabilitas sosial dan budaya kerajaan. Pencapaian Raja Hayam Wuruk dalam menyatukan keyakinan ini menandai pentingnya toleransi beragama dalam sejarah Indonesia.